Kamis, 29 Desember 2016

Tingkatan pengetahuan ilmiah dalam pancasila



Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Filsafat dianggap sebagai ratu ilmu pengetahuan. Secara hirarki, kebenaran ilmu pengetahuan sbb:
1.       Kebenaran, pengetahuan indera, melalui pengalaman panca indera
2.       Kebenaran ilmuah, sebagai tingkat lanjut dari pengamatan pengalaman (dengan metode apapun)
3.       Kebenaran filsafat sebagai puncak dan prestasi pemikiran murni manusia untuk menebus tapal batas fisik dan metafisika.
4.       Kebenaran religius sebagai kebenaran fundamental yang hakiki sebagai puncak dan batas tertinggi jangkauan akal budi kepribadian manusia. Kebenaran religius berwatak supranatural dan supra rasional.

Keempat tingkat kebenaran ini menunjukan dimensi kesemestaan, alam, budaya, agama, dan tuhan sebagai dunia kepribadian martabat manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menunjukan kemampuan pribadi manusia unggu berkat potensi yang dikembangkannya. Manusia harus dapat mendayagunakan IPTEK dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia; mengembangkan dan melestarikan peradaban merupakan tanggung jawab moral pancasila.

Proses pengembangan IPTEK secara normative dan teoritis ilmiah adalah melalui kelembagaan pendidikan formal. Kelembagaan pendidikan merupakan tempat untuk proses belajar dan proses penelitian pengembangan IPTEK. Kelembagaan pendidikan harus melakukan rekonstruksi system pengetahuan dalam kebudayaan Indonesia. Pengembangan IPTEK merupak tujuan bangsa Indonesia yang terutang dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4, yaitu ‘….mencerdaskan kehidupan bangsa…’. Sebagai bangsa yang besar, tiap warga Negara terutama para ilmuwan dan cendikiawan harus memiliki budaya mengembangkan dan menciptakan pengetahuan dan teknologi yang bermamfaat bagi kemaslahatan umat manusia.

System filsafat pancasila



Bangsa Indonesia mewarisi tatanan sosio kultural berwujud nilai-nilai dasar sebagai budaya luhur yang merupakan sari dan puncak budaya bangsa sebagai pandangan hidup bangsa. Warisan budaya: kesadaran ketuhanan keagamaan, kekeluargaan, asas musyawarah mufakat, gotong royong dan tepa salira makin mengalami kristalisasi sebagai proses perkembangan nilai internal dan eksternal dalam dinamika nasional dan internasional. Artinya, berkat masukan nilai-nilai luhur ketuhanan dan keagamaan, mulai agama hindu dan budha, islam, dan Kristen, manusia Indonesia makin beradab dalam pasang surut sejarah nasional.
                Nusantara Indonesia pada masa kejayaan sriwijaya dan majapahit menunjukan bahwa potensi keluhuran budaya sebagai cipta karya keunggulan manusia Indonesia dapat memberikan kepercayaan dan kebanggaan nasional bahwa sumber daya manusia (SDM) kita mampu mengembangkan nusantara (yang amat strategis dan karya sumber daya alamnya) sebagai terbukti dalam warisan budaya yang kita miliki sebagai modal dasar generasi penerus: bahasa, sub-budaya, dan pandangan hidup yang cukup membanggakan.
                Diakui nilai pandangan hidup yang kemudian terkenal sebagai pancasila, ialah kristalisasi warisan nilai-nilai dasar sebagai budaya luhur yang dirumuskan menjelang proklamasi kemerdakaan, sebagai terumus didalam pembukaan UUD 45. Rumusan dimaksud ialah nilai pancasila sebagai dasar filsafat Negara sekaligus asas kerohanian Negara yang menjiwai dan melandasi tatanan kebangsaan dan kenegaraan RI.
                Rakyat Indonesia makin mantap atas tatanan kebangsaan dan kenegaraannya berdasarkan filsafat pancasila, terbukti dengan keputusan panitia Ad Hoc I/BP-MPR 2000 dalam rangka amandemen UUD 45 menetapkan bahwa ketiga asas kenegaraan berikut mufakat tidak akan diamandemen, yakni:
a.       Pembukaan UUD 45;
b.      Bentuk Negara kesatuan RI, dan
c.       Sistem cabinet presidensial.
Kebijaksanaan MPR yang notabene adalah wakil-wakil rakyat hasil pemilihan umum dalam era reformasi mengandung makna bahwa reformasi yang kita lakukan tetap bertumpu dan dipandu oleh kaidah fundamental kebangsaan dan kenegaraan: pancasila dan UUD NKRI 1945.

Psikologi rene Descartes



Rene Descartes filsuf matematikawan dan ilmuwan prancis ini lahir di lahaye, Touraine, pada tahun 1596 dan meninggal pada tahun 1650. Karyanya antara lain discourse on method (discours de la methode), sebuah pengantar pada dioptric, meteors, dan geomentry (semua diterbitkan pada tahun 1636 dan tahun 1637); meditations on first philosophy and objections (keberatan terhadap filsafatnya oleh arnauld, gessendi, hobbes, dan lainnya) dan reflies, jawabannya terhadap mereka semua (ketiga karya ini diterbitkan pada tahun 1640 dan tahun 1641); principles of philosophy (1644); treatise on the passions of the soul (1649); rules for the direction of the mind (diterbitkan pada tahun 1701).
                Kedua buku decartes (discourse dan meditations) ini tampak saling melengkapi satu sama lain. Dalam kedua buku inilah ia menuangkan kedua metodenya yang terkenal, yaitu metode keraguan Descartes (certesian doubt). Metode ini juga sering juga disebut cogito Descartes atau metode cogito.
                Menurut Descartes, manusia terdiri dari atas dua macam zat yang berbeda secara hakiki, yaitu res cogitans atau zat dapat berfikir, dan res extensa atau zat yang tidak mempunyai luas (gerungan, 1987: 7). Zat pertama adalah zat yang bebas, tidak terikat pada hukum-hukum alam, dan bersifat rohaniah; sedangkan zat kedua adalah zat meteri, tidak bebas, terikat, dan dikuasai hukum-hukum alam. Jiwa manusia terdiri atas zat roh, sedangkan badannya terdiri atas zat materi. Kedua zat itu berbeda dan terpisah kehidupannya, dan dihubungkan yang satu dengan yang lain melalui sebuah kelenjar didalam otak. Jiwa manusia berpokok pada kesadaran manusia atau pikirannya yang bebas, sedangkan raganya tunduk pada hukum-hukum alamiah dan terikat pada nafsu-nafsunya.
                Peranan pendapat Descartes dalam perkembangan psikologi sangat besar sehingga jiwa sampai abad ke-20 apa yang disebut ilmu hanya tertuju pada uraian dari gejala-gejala jiwa, terlepas dari raganya.
                Dalam pandangan Descartes, psikologi adalah ilmu pengeahuan mengenai gejala-gejala pemikiran atau gejala-gejala kesadaran manusia, terlepas dari badannya. Raga manusia yang terdiri dari materi dipelajari oleh ilmu pengetahuan yang lain, terlepas dari jiwanya. Demikian pula, makhluk hewan yang menurut Descartes tidak mempunyai jiwa, hanya dipelajari oleh ilmu pengetahuan alamiah, yang mempelajari materi.