Tema sentral filsafat hume pada
intinya adalah pengalaman teridiri atas kesan dan ide. Ada prinsip-prinsip
tertentu yang memandu kita dalam mengasosiasi ide-ide, yaitu persamaan,
penghampiran, serta sebab dan akibat. Pengalaman menghasilkan pada diri kita
kebiasaan, yang bertanggung jawab menghubungkan dua peristiwa suksesif secara
kausal. Ia membuat pembedaan penting antara hal-hal factual dan hubungan
ide-ide. Hanya yang terakhir yang melibatkan keniscayaan.
Buku
hume, treatise of human nature, ditulisnya pada saat dia masih sangat muda,
yaitu ketika berusia dua puluh tahunan. Buku tersebut tidak banyak menarik
perhatian orang sehingga hume pindah ke subjek lain, kemudian menjadi seorang
terkenal sebagai sejarawan.
Pada
tahun 1748, hume menulis buku yang terkenal, enquiry concerning human
understading. Baik buku treatise maupun buku enquiry, keduanya menggunakan
metode empiris, sama denga jhon locke. Apabila locke hanya sampai pada ide
kabur yang tidak jelas berbasis pada sensasi, hume dalam pandangan ahmad
tafsir, lebih kejam. Dalam salah satu bab, ia menulis sbb.
Apabila kita membuka buku diperpustakaan, membaca prinsip-prinsip yang
diajarkan oleh empiris, malapetaka apa yang kita lakukan? Apabila kita membaca
satu jilid buku metafisika, apakah ia ada menyebut sesuatu tentang kuantitas?
Tidak. Apakah buku itu berisi tentang uraian eksperiment tentang materi nyata?
Tidak. Buang saja, buku itu tidak berisi apa-apa selain kebimbangan dan ilusi.
Disini
kita melihat hume mengukur kebenaran dengan pengalaman sebagai alat ukur.
Banyak filsuf sebelumnya yang memercayai reason (akal) dan atau memercayai
pengalaman. Menurut hume, keduanya berbahaya.
Hume,
menurut ash-shadr, tampaknya lebih akurat dari pada filsuf lainnya dalam
menerapkan teori empirical. Ia mendefinisikan bahwa kausalitas, dalam arti
sebenarnya, mungkin diketahui oleh indra. Oleh karena itu, ia mengingkari
prinsip-prinsip kausalitas dan mengembalikannya pada kebiasaan pengasosiasian
ide-ide.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar