Filsafat adalah hasil akal manusia
yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dalam
penyelidikannya, filsafat berawal dari apa yang dialami manusia karena tidak
ada pengetahuan jika tidak bersentuhan lebih dahulu dengan indera, sedangkan
ilmu yang hendak menelaah hasil penginderaan itu tidak mungkin mengambil
keputusan dengan menjalankan pikiran, tanpa menggunakan dalil dan hukum pikiran
yang tidak mungkin dialaminya. Bahkan, ilmu dengan sangat tenang, menerima
sebagai kebenaran bahwa pikian manusia itu ada serta mampu mencapai kebenaran;
dan tidak pernah diselidiki oleh ilmu, sampai dimana dan bagaimana budi manusia
dapat mencapai kebenaran itu.
Sebaliknya,
filsafatpun memerlukan data dari ilmu. Jika ahli filsafat manusia hendak
menyelidiki manusia itu serta hendak menentukan apakah manusia itu, ia harus
mengetahui gejala tindakan manusia. Dalam hal ini, ilmu yang bernama psikologi
akan menolong filsafat sebaik-baiknya dengan hasil penyelidikannya. Kesimpulan
filsafat tentang kemanusiaan akan sangat pincang dan mungkin jauh dari
kebenaran jika tidak menghiraukan hasil psikologi.
Dalam
berbagai litelatur disebutkan, sebelum menjadi disiplin ilmu yang mandiri,
psikologi memiliki akar-akar yang kuat dalam ilmu kedokteran dan filsafat yang
hingga sekarang masih tampak pengaruhnya. Dalam ilmu kedokteran, psikologi
berperan menjelaskan apa-apa yang terpikir dan terasa oleh organ-organ
biologis. Adapun dalam filsafat sebenarnya “ibu kandung” psikologi itu
psikologi berperan serta dalam memecahkan masalah-masalah rumit yang berkaitan
dengan akal, kehendak, dan pengetahuan.
Bruno,
seperti dikutip syah (1995: 8), membagi pengertian psikologi dalam tiga bagian
yang pada prinsipnya saling berhubungan. Pertama, psikologi adalah ilmu
pengetahuan mengenai “roh”. Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai
“kehidupan mental”. Ketiga, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai “tingkah
laku” organisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar